HARAKAH MUBARAKAH

HARAKAH MUBARAKAH :

Taharruk (bergerak) untuk agama dengan mengerahkan kemampuan secara maksimal dalam berdakwah di jalan Allah, serta untuk menegakkan syari`at dan meninggikan kalimat-Nya
di muka bumi, wajib menjadi unsur asasi dalam sendi-sendi keimanan setiap muslim.

Dalam kamus Lisān al-`Arab (1/614), kata al-harakah (الحركة ) berasal dari kata haruka (حرك), yang memiliki arti lawan dari kata diam atau tidak bergerak (ضد السكون), berarti ha-rakah adalah sesuatu yang bergerak atau suatu gerakan.
Secara bahasa, arti umum harakah adalah perpindahan tubuh dari satu tempat ke tempat tertentu menuju tempat lainnya (انتقال الجسم من مكان إلى مكان آخر). Hal tersebut menandakan adanya langkah-langkah dan usaha-usaha yang terus bergerak dari satu po-sisi menuju posisi yang lain atau dari satu keadaan menuju keadaan yang lain. Dari sini dapat difahami bahwa al-Harakah al-Islamiyyah berarti langkah-langkah, usaha-usaha dan gerakan-gerakan yang bersifat Islami, yaitu berdasarkan asas-asas, aturan-aturan dan nilai-nilai Islam, baik dalam tujuan, aqidah sikap maupun dalam suluknya.
Manusia diciptakan Allah swt untuk meng-abdi hanya kepada-Nya, atau mentauhidkan-Nya. Hal ini mengandung pengertian bahwa arti kehidupan yang sesungguhnya bagi ma-nusia adalah mempersembahkan seluruh aspek kehidupannya hanya untuk beribadah kepada Allah, Rabb , Pen-cipta, Pemilik dan Penga-tur alam semesta.
Tauhid adalah dasar penciptaan anak cucu ke-turunan Adam as, seluruh manusia, karena Allah swt telah menciptakan mereka sebagai muwahhidin (hanya mengabdi Allah semata). Bapak manusia, Adam as adalah orang pertama yang menjadi muwah-hidin, sebagai fithrah asasi yang melekat pada diri manusia. Manusia sepanjang sejarahnya sejak Adam as hingga Nuh as – semoga Allah mencurahkan kesejahteraan kepada mereka – yang diperkirakan berjarak 10 abad, masih tetap berada di atas landasan tauhid. Sebuah kehidupan Islami yang di-tandai adanya pengabdian dan peribada-tan hanya kepada Allah swt dalam seluruh aspek kehidupannya, dan hal ini telah berhasil diwu-judkan oleh Adam as da-lam bentuk pentauhidan yang utuh di alam nyata.
Kehidupan Islami ini berlangsung sampai mun-culnya penyimpangan besar dari rel kehidupan zaman ummat Nabi Nuh as dalam bentuk kesyirikan kepada Allah swt. Pengabdian yang beralih kepada penyembahan ber-hala-berhala Wad, Suwa`, Yaguts, Ya`uq dan Nashr tersebar – di mana pada mulanya mereka adalah nama orang-orang shalih di kalangan mereka– yang telah merubah tujuan hakiki dari kehidupan manusia itu sendiri. Inilah titik mula terjadinya penyimpangan hakiki kehidupan insan di muka bumi, dari ketau-hidan dan pengabdian hidup hanya kepada Allah swt menuju kehidupan syirik yang penuh kehinaan dan kehancuran bagi alam semesta.
Saat itu dan saat-saat sesudahnya, kafilah-kafilah rasul dan para nabi di utus setiap za-mannya oleh Allah swt tanpa henti untuk mengadakan langkah-langkah, usaha-usaha dan gerakan-gerakan mengembalikan ma-nusia ke arah tujuan diciptakannya yaitu tauhid dan pengabdian hanya kepada-Nya, hingga ditutup dan disempurnakan oleh rasul dan nabi terakhir, Nabi Muhammad saw. Usaha, langkah dan gerakan dakwah kepada tawhīdullah merupakan program dasar dan utama yang dilakukan para nabi dan para rasul sebagai pemimpin dan penghulu para da`i di jalan Allah swt. Sebuah tugas utama dan mulia yang mereka sandang sebagai makhluk dan manusia terhormat dan terpuji di alam semesta. Usaha-usaha, langkah-lang-kah dan gerakan-gerakan yang gigih dan tiada henti yang mereka lakukan, baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, baik pagi maupun petang, baik di saat sendiri maupun di saat bersama para pendukungnya telah menjelma menjadi sebuah kafilah dari hara-kah dakwah Islamiyyah yang agung dan mulia.
Kafilah harakah da`wah Islamiyyah inipun terjelma dalam bangunan dakwah jihad dan daulah di masa Rasulullah saw dan khulafa rasyidin yang penuh dengan hidayah dan ‘inayah Allah swt, hingga kemenangan (berkuasa di muka bumi sebagai orang yang beriman kepada Allah), gelombang besar manusia yang masuk ke dalam rah-mat Islam dan rasa aman yang menyeli-muti ummat dalam agama, akal, jiwa, harta dan kehormatan merekapun terbukti dalam fakta kehidupan yang nyata. Bagi mereka –karena hidayah al-Qur`an dan al-Sunnah– siapa saja yang menjadi muslim tanpa memiliki peran dan tanggung ja-wab terhadap Islam itu sendiri, maka berarti dia telah menempatkan dirinya sama seperti sikap beragamanya para pendeta di gereja-gereja dan para biksu di kuil-kuil dan kelenteng-kelenteng me-reka yang bersikap rahbaniyyah bid‘iyyah.
Masa ini menjadi masa penentu kesem-purnaan agama dan beragama, penentu berpikir dan beramal tentang agama dan kehidupan beragama. Masa ini menjadi batu ujian dalam kebenaran beraqidah, beribadah, berakhlak dan beragama se-cara menyeluruh untuk seluruh ummat, di mana semua kebenaran itu harus diu-kur oleh sejauh mana menepati kebenaran yang dipegang oleh Rasulullah saw dan para shahabatnya. Itulah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama`ah yang terpolakan dalam al-Kitab, al-Sunnah dan manhaj al-Salaf al-Shaleh yang diridhai Allah swt serta jalan keselamatan dan kemenangan yang telah ditetapkan-Nya. Manhaj ini-lah yang dianut, dipegang dengan teguh, diamalkan, didakwahkan dan disebarkan dengan harakah tingkat tinggi, hingga dengan mengorbankan sesuatu yang ter-mahal dalam kehidupan.
Di antara perintah Rabbani yang pertama kali diturunkan dalam al-Qur`an adalah:
Perintah memberi peringatan dan me-nyampaikan wahyu kepada seluruh makhluk, sebuah harakah yang tak boleh berhenti.

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ
“Hai orang yang berkemul (berselimut), ba-ngunlah, lalu berilah peringatan!” [QS. al-Muddatstsir (74): 1-2]

Kemudian, berlanjut dengan apa yang di-namakan fiqh dakwah, di mana ayat yang turun berisi tentang situasi dakwah, seperti dalam firman Allah swt:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي اَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَ مَنِ اتَّبَعَنِي وَ سُبْحَانَ اللهِ وَ مَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (ka-lian) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” [QS. Yūsūf (12): 108]

{ اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَ الْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَ جَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ }

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu de-ngan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” [QS. al-Nahl [(16): 125
Ayat-ayat tersebut menggambarkan sosok seorang da`i muslim yang mengikuti jejak hidup Nabi saw, Muslim Harakiy Sunniy.

Di antara pembentukan penting pertama yang diperhatikan Rasulullah saw adalah ke-pribadian da`i yang akan mengemban dan menyebarkan tanggung jawab dakwah. Orang pertama yang beliau dakwahkan adalah Abu Bakar al-Shiddiq ra yang merupakan sosok yang tidak pernah berhenti dan lelah dalam berdakwah. Bahkan, beliaulah orang per-tama yang bergerak (berharaki) menye-barkan dakwah secara maksimal, hingga 6 orang tokoh pemuda Quraisy masuk Islam, di samping upayanya yang besar dalam membebaskan para budak yang masuk Islam dari belenggu perbudakan.
Sesungguhnya gerakan para shahabat Nabi saw setelah beliau wafat merupakan bukti nyata bahwa kepribadian yang be-liau bentuk dan bina adalah kepribadian mutaharrik (pergerakan) terhadap dien yang tidak pernah diam dan beku.

Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata:
“Menyampaikan sunnah Nabi kepada ummat lebih utama daripada mengirim-kan anak panah ke leher-leher musuh, ka-rena mengirimkan anak panah dapat di-lakukan oleh mayoritas manusia, sedang-kan menyampaikan sunnah beliau tidak dapat ditunaikan kecuali oleh para pewaris Nabi dan khalifah ummat. Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan me-reka dengan karamah dan nikmat-Nya”

Imam al-Ghazali rahimahullah berkata:
“Ketahuilah! Setiap orang yang duduk dalam rumahnya saat ini, bagaimanapun keadaannya, tidak akan pernah lepas dari berbagai kemungkaran. Bayangkan, ber-diam diri dari upaya memberi penerangan, pengajaran dan pengarahan yang ma’ruf kepada manusia, padahal mayoritas ma-nusia di kota-kota besar berada dalam ke-jahilan terhadap syarat-syarat shalat me-nurut syari`at, terlebih lagi yang berada di desa-desa dan pelosok-pelosok kampung, baik dari bangsa Arab desa, Kurdi dan Turkistan maupun seluruh manusia. Se-sungguhnya di setiap masjid dan wilayah seharusnya memiliki orang alim yang da-pat mengajarkan dien kepada manusia, begitu pula di desa-desa. Dan wajib bagi setiap orang alim –setelah selesai menu-naikan fardhu ‘ainnya dan fardhu kifa-yahnya– untuk keluar ke kota-kota tetang-ganya, baik yang berkulit hitam, bangsa Arab, Kurdi dan lain-lain, memberikan pengajaran dien dan syari`at-syari`at yang fardhu bagi mereka”.

Malik bin Dinar berkata:
“Seandainya aku mampu tidak tidur, niscaya aku tidak akan tidur khawatir siksaan Allah menimpa di saat aku sedang tidur. Dan sean-dainya aku menemukan para pendukung, nis-caya aku aku menyebarkan mereka ke seluruh dunia untuk menyerukan: Wahai manusia, takutlah api neraka! Takutlah api neraka!”

Ibrahim bin As`ats berkata:
“Dahulu, setiap kali kami keluar bersama al-Fudha’il bin `Iyadh untuk mengantar jenazah, beliau tiada henti-hentinya memberikan nase-hat, mengingatkan dan menangis, sampai seakan-akan dia mau berpisah dengan para shahabatnya menuju akhirat hingga sampai ke pekuburan, beliau duduk seakan-akan ber-ada di tengah para mayit, berduka dan mena-ngis sampai beliau berdiri, seakan-akan beliau baru kembali dari akhirat memberitahukan kejadian di sana”

Syuja` bin Walid berkata:
“Dahulu, aku keluar bersama Sufyan al-Tsawri. Di mana waktu pulang dan pergi, lisan beliau tidak pernah lelah untuk beramar ma`ruf dan nahi munkar”
Imam al-Zuhri sendiri tidak pernah merasa cukup hanya mentarbiyah generasi penerus dan mencetak para imam hadits, bahkan be-liau keluar terjun langsung ke desa-desa Arab untuk mengajarkan manusia.
Seorang ahli fiqih dan penasehat, Ahmad al-Ghazali (saudara Imam al-Ghazali) masuk ke kampung-kampung dan pelosok-pelosok untuk memberikan nasehat kepada penduduk sebagai taqarrubnya kepada Allah swt.
Taharruk (bergerak) untuk agama dengan mengerahkan kemampuan secara maksimal dalam berdakwah di jalan Allah swt, mene-gakkan syari`at dan meninggikan kalimat-Nya di muka bumi wajib menjadi unsur asasi dalam sendi-sendi keimanan setiap muslim. Sehingga di setiap waktunya, diapun meng-hisab diri dengan bertanya: Apakah yang telah aku baktikan untuk agama Allah swt?
Gelisah di pembaringannya tiada henti, tidak asyik dalam dengkuran tidurnya, tidak nikmat dalam kemilau hidupnya. Berita-berita kaum muslimin membuat-nya senang dan sedih. Dia terus berpikir untuk menjalani sampainya kebenaran kepada setiap makhluk, khawatir lalai tidak sempurna. Dia tidak hanya berpikir untuk tetangganya saja, kawannya atau karib kerabatnya saja. Dia berpikir untuk seluruh penduduk belahan bumi mana-pun, bagaimana memasukkan mereka ke dalam Islam.
Alangkah banyaknya kelalaian yang kita ciptakan, jika bukan karena takut, mungkin karena lemah. Kita meminta ampun dan bertaubat kepada Allah swt atas kelalaian yang kita perbuat. Sudah waktunya untuk kita katakan semaksimal yang kita mampu, sebagai kaffarat (peng-hapus) kekeliruan masa lalu dan dosa-dosa yang telah terlewat. Tidak lain ke-cuali mengharap maaf Allah swt dan rahmat-Nya. Umur berlalu dengan cepat dan kehidupan hampir mencapai finish-nya. Ya, memang sudah waktunya meng-ungkapkan seluruh kondisi kaum mus-limin dan membela Islam semaksimal mungkin dengan ungkapan tegas, kalimat yang jelas dan amal yang lugas. Kita ti-dak perlu takut kepada siapapun kecuali Allah swt. Semua terjadi menurut batas yang diizinkan Allah swt kepada kita, bahkan Dia mewajibkan kita untuk me-ngatakannya dengan hidayah Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya saw.
Negeri-negeri yang ada di belahan dunia Islam telah terperosok dalam ju-rang yang dalam tanpa tepi, jurang keka-firan, kebebasan dan kehancuran. Jika kita tidak berdiri menjadi nadzīr (pengingat kewaspadaan), atau tidak mengawasi mereka dari api jahanam, tentu kitapun ikut terperosok bersama mereka, tertimpa berbagai bencana seperti mereka, serta dosa berlipat yang akankita terima.

0 komentar:

Posting Komentar